Senin, 27 April 2015

ESAI ''Mencari Keadilan''.!!!



Hukum, Apakah Identik Dengan Keadilan…..???
Indosia adalah negara hukum, dan muara dari proses pencarian keaadilan yang ada di sebuah Negara hukum salah satunya adalah pengadilan. Karena itu, proses peradilan semestinya ditopang dengan semangat sesuai dengan ketentuan yang adil dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bagaimana mungkin keadilan akan dicapai jika proses peradilan tidak dilakukan secara adil (fair trial).
Disisi lain Indonesia merupakan Negara yang sangat majemuk, baik dari segi social, budaya, polotik, maupun ekonomi. Di samping menjadi modal dasar bagi bangsa yang besar, kemajemukan itu ternyata melahirkan aneka persoalan yang kompleks. Ketimpangan pembangunan, misalnya, mengakibatkan kesenjangan social. Efek lanjutnya, kesenjangan kerap berpengaruh terhadap ketimpangan struktur masyarakat dalam memperoleh keadilan.
Hingga hari ini public disuguhi fenomena sejumlah putusan pengadilan yang diskrepansi, yakni putusan yang mengandung ketaksesuaian antara harapan publik dan kenyataan. Publik selalu berharap pengadilan sebagai pintu utama hukum dapat mewujudkan rasa keadilan, namun kenyataannya pengadilan sering menghadirkan putusan atau vonis hukum controversial yang kerap melukai rasa keadilan.
Belakangan ini di Indonesia  kerap terekspos proses peradilan yang janggal. Contoh yang masih belum lekang dari ingatan kita, Baru-baru ini kita dihebokan dengan berita tentang nenek Asyani yang berumur 63 tahun asal kabupaten Situbondo, yang harus menjalani persidangan lantaran diduga mencuri tujuh batang kayu millik Perum Perhutani. Padahal, ketujuh kayu tersebut merupakan hasil dari tebangan suami Asyani yang dilakukan 5 tahun yang lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan ini dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani. Jaksa pun menjerat Asyani dengan pasal 83 UU Tahun 2013 tentang illegal logging atau perusakan hutan lindung dengan ancaman 5 tahun penjara. Asyani pun sudah menjalani pahitnya dipenjara sejak 15 Desember lalu.
Pengadilan seolah-olah mengungkapkan pesan hanya berani menghukum orang miskin, namun tak pernah berani menghukum orang kaya dan para elit politik yang bersalah di negeri ini. Lihatlah bagaimana kasusus “rekening gendut” komisaris jenderal Budi Gunawan yang dengan begitu mudahnya PN Jakarta selatan membuat putusan hukum yang tak adil. Budi Gunawan dibebaskan dari penetapan status hukum tersangka dari komisi pemberantasan korupsi (KPK). Kini kasus Budi ini dilimpahkan ke kejaksaan Agung dan kepolisian Republik Indonesia. Pada kasus asyani vs Budi bagaikan langint dan bumi yang sangat jauh berbeda. Pengadilan seolah memperlihatkan wibawa dan otoritasnya untuk secepat kilat menghukum dan bagai harimau yang lapar menerkam mangsanya, sedangkan pada kasus Budi Gunawan pengadilan  berubah perangai menjadi persahabatan dan jadi dewa penolong.
Dari  dua kasus di atas yang sangat bertolak belakang, diditu kita bias menilai bahwa hukum di Negara kita belum mampu memberikan keadilan kepad rakyat. Sedangkan hukum pablik atau hokum pidana yang diterapkan di Indonesia adalah jhukum yang menyangkut kepentingan umum Negara, yang apabila hokum itu dilanggar, maka Negara turun tangan agar pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya. Meskipun hal demikian itu tergantung kondisi dan situasi. Seperti pada rakyat biasa yang tidak punya harta, posisi, dan status yang tinggi. Hokum kita banyak membiarkan kasus-kasus berat jika dilakukan mempunyai harta dan kekuasaan. Orang biasa yang melakukan pelanggaran kecil. Sedangkan pejabat yang melakukan korupsi sampai miliaran bahkan triliunan dapat berkeliaran dengan bebas. Meskipun ada beberapa koruptor yang dipenjara, mereka masih menikmati fasilitas mewah di dalam tahanan, bahkan lebih mewah dari orang biasa yang tinggal di luar penjara. Kasus ketidakadilan hokum yang dialami nenek Asyani dan rakyat lainnya mencerminkan bahwa di Indonesia itu TUMPUL KE ATAS RUNCING KE BAWAH.
Adakah  hukum yang bias meneggakan keadilan tanpa pandang bulu? Hukum islamlah jawabannya, karena hokum islam berasaldari Allah yang Maha Adil. Dalam hukum islam sekuat apa pun upaya untuk mengintenvensi hukum pasti gagal, karena hukum Allah SWT. Tidak berubah dan tidak boleh diubah apalagi hanya untuk kepentingan orang-orang tertentu mempunyai banyak harta dan kekuasaan. Dimata hukum islam, semua orang memiliki kedudukan yang setara, muslim atau non-muslim, pria atau wanita, kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa. Tidak ada diskriminasi, kekebalan hukum, atau hak istimewa. Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal dihukum sesuai dengan jenis pelanggarannya. Hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Ketika seseorang wanita bangsawan melakukan pencurian dan para pembesar meminta agar hukuman wanita itu diperingan. Rasulullah SAW. “Seseungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah takala ada orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah yang mencuri; mereka menegakkan had atas dirinya. Demi zat yang jiwaku berada dalam genggamannya. Seandainya Fatimah putrid Muhammad mencuri niscaya akan aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari). Hukum Islam juga tidak semata-mata membela penguasa, dengan demikian kelebihan hukumn islam yang bersumber dari Allah SWT yang jelas lebih baik dibandingkan hukum lain yang bersumber dari manusia.

Yogyakarta 27 April 2015
Created By: Senja ^_^






Tidak ada komentar:

Posting Komentar